English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Model Konsekutif untuk Pendidikan Calon Guru

Umar Ibsal Mahasiswa Fakultas Teknik UNM(Trbun-Timur)

Perubahan kebijakan dalam perekrutan calon guru akan berimplikasi pada formulasi kurikulum di perguruan tinggi. Oleh karena itu perlu segera diformulasikan sistem pendidikan profesi guru baik di LPTK maupun non LPTK sehingga nantinya tidak ada lagi dikotomi antara LPTK dan non LPTK, melainkan terbentuk dalam Lembaga Pendidikan Profesi Guru (LPPG) dengan menerapkan pola pendidikan konsekutif

Sejak 10 Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dikonversi menjadi universitas pada tahun 1999, konfigurasi sistem pendidikan tenaga kependidikan menjadi berubah. Konversi IKIP yang kemudian dijadikan universitas menunjukkan bahwa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) tidak memiliki arah yang jelas dalam mendidik calon guru.
Ahmad Rizali (2008) mengatakan bahwa konversi IKIP menjadi LPTK mengindikasikan bahwa program pendidikan guru tidak menjadi program unggulan LPTK eks IKIP. Apalagi dengan adanya Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang segera akan dilaksanakan pada bulan September tahun 2009.
Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) secara tegas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru (PP No 74/2008) yang disahkan pada 1 Desember 2008. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Selanjutnya pada Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk mengikuti pendidikan profesi guru, calon guru minimal berkualifikasi S1/D IV, baik yang berasal dari perguruan tinggi kependidikan maupun nonkependidikan.
Ini berarti bahwa alumni LPTK dengan gelar sarjana pendidikan kembali harus mengikuti PPG jika ingin berprofesi sebagai guru dan mendapatkan lisensi guru profesional.

Tumpang Tindih
Kurikulum yang diterapkan dalam PPG tergantung dari kualifikasi mahasiswa, apakah mereka alumni LPTK atau alumni Non LPTK. Hal tersebut diatur pada pasal 7 ayat (2) PP No 74/2008 yang menyatakan bahwa bobot muatan belajar PPG disesuaikan dengan latar belakang pendidikan sebagai berikut: (a). untuk lulusan program S-1 atau D-IV kependidikan dititikberatkan pada penguatan kompetensi profesional; dan (b). untuk lulusan program S-1 atau D-IV nonkependidikan dititikberatkan pada pengembangan kompetensi pedagogik.
Dalam draf Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan, program PPG untuk lulusan S-1 kependidikan akan diberikan pemantapan bidang studi dan program pengalaman lapangan (PPL) kependidikan. Sedangkan lulusan S-1 Non Kependidikan lebih diorientasikan kepada pembentukan kompetensi kepribadian pendidik, pengemasan bidang studi untuk pembelajaran serta mengikuti program PPL kependidikan.
Ini berarti bahwa alumni LPTK kembali harus mempelajari kompetensi profesional yang pernah "dicicipinya" di perguruan tinggi asalnya. Hal ini terjadi karena jumlah satuan kredit semester tentang kompetensi profesional mengenai bidang keilmuannya masih kurang dibandingkan dengan alumni perguruan tinggi non LPTK.
Dalam draf PPG yang dirumuskan oleh Direktorat Ketenagaan DITJEN DIKTI, program PPL kembali akan diharuskan dalam PPG, padahal sudah diprogramkan ketika menempuh pendidikan di LPTK. Ketentuan tersebut menyiratkan bahwa alumni LPTK masih kurang profesional dalam bidang keilmuannya dibandingkan dengan alumni Non LPTK.
Aturan PPG akan berdampak pada citra alumni LPTK sebagai alumni yang belum siap pakai sehingga akan menimbulkan kesan pada masyarakat akan kualitas keilmuan alumni LPTK. Dengan demikian, gelar sarjana pendidikan yang merupakan produk dari LPTK akan kurang diminati lagi oleh masyarakat sebagai "bekal" untuk bertarung mendapatkan pekerjaan, khususnya sebagai guru.
Model pendidikan terintegrasi (concurrent model) dengan menggabungkan kompetensi pedagogik (keguruan) dengan kompetensi profesional sudah tidak konteks lagi untuk menyiapkan calon guru. Pola pendidikan terintegrasi yang dilaksanakan di LPTK harus segera dievaluasi jika LPTK tidak ingin kehilangan pamor di mata masyarakat.
Slamet Widodo (2006) mengatakan bahwa pemberlakuan UUGD No.14/2005 membawa konsekuensi perlu dihapuskannya program studi kependidikan karena untuk mencapai profesi guru, seseorang harus mengikuti program pendidikan profesi.
Perubahan kebijakan dalam perekrutan calon guru akan berimplikasi pada formulasi kurikulum di perguruan tinggi. Oleh karena itu perlu segera diformulasikan sistem pendidikan profesi guru baik di LPTK maupun non LPTK sehingga nantinya tidak ada lagi dikotomi antara LPTK dan non LPTK, melainkan terbentuk dalam Lembaga Pendidikan Profesi Guru (LPPG) dengan menerapkan pola pendidikan konsekutif (consecutive model).
Penyiapan tenaga kependidikan di LPTK selama ini umumnya menggunakan model pendidikan simultan (concurrent model) yaitu materi bidang studi diberikan bersama-sama dengan materi kependidikan, kecuali untuk program akta bagi calon guru di luar LPTK menggunakan model pendidikan berurutan (consecutive model), kependidikan ditempuh setelah menguasai bidang studi (Trianto & Tutik, 2007: 43).
Lembaga Khusus
Salah satu model pendidikan konsekutif di Indonesia tampak pada pendidikan profesi dokter. Pendidikan kedokteran dasar terdiri dari dua tahap, yaitu tahap sarjana kedokteran (S Ked) dan tahap profesi dokter (dr) (Biran Affandi, 2006).
Jika merujuk pada mekanisme sertifikasi di bidang kedokteran di Indonesia, pendidikan profesi dokter ditempuh setelah yang bersangkutan memiliki kualifikasi sarjana kedokteran. Pada program pendidikan untuk profesi-profesi lain dalam satu perguruan tinggi sendiri dapat melakukan sekaligus pendidikan kesarjanaan dan pendidikan profesi tetapi sifatnya lebih independen.
Artinya pencetakan sarjana dan pendidikan profesi sebagai proses yang berdiri sendiri. Dirjen Dikti Fasli Jalal (2008) mengatakan bahwa perguruan tinggi non LPTK akan diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan sertifikasi guru dan dosen berupa pendidikan profesi guru/dosen.
Pemberian sertifikat pendidik seyogyanya diselenggarakan oleh lembaga yang khusus membidangi sertifikasi pendidik di bawah naungan Perguruan Tinggi (PT) yang bersangkutan sehingga penyiapan calon guru dapat dikoordinasikan antara pihak PT sebagai penghasil kualifikasi sarjana dengan lembaga sertifikasi yang memberikan sertifikat pendidik/guru. PT LPTK maupun non LPTK akan membentuk LPPG sebagai lembaga khusus yang berwenang memberikan sertifikat pendidik.
Lembaga independen yang menyelenggarakan sertifikasi guru memerlukan mekanisme akreditasi seperti digunakan di Amerika Serikat. Mekanisme akreditasi untuk bidang keguruan diselenggarakan oleh NCATE (National Council for the Accreditation of Teacher Education ) atau AACTE (American Association of Colleges of Teacher Education).
Badan ini berwenang menilai dan menentukan ijazah yang dimiliki calon pendidik, layak atau tidak layak untuk diberi lisensi pendidik. (www.unc.edu, 8/4/2008 ). Dalam nomenklatur Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) dikenal sebagai Organisasi Pelaksana Akreditasi Program Studi (OPAPS), yang khusus diperuntukkan bagi berbagai bidang profesi.
Penyelenggaraan program pendidikan guru di PT non LPTK dengan keikutsertaannya membentuk LPPG sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan. Hal tersebut diatur pada UU Sisdiknas No 20/2003 pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
Selanjutnya pada pasal 61 ayat (3) menyatakan bahwa sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Pemberian kewenangan kepada PT non LPTK seharusnya menjadi "lampu kuning" bagi LPTK untuk menginstropeksi pola penyiapan calon guru profesional di institusinya. LPTK tidak boleh larut dalam euforia "kemenangan" pasca disahkannya UUGD No 14/2005 dengan diberikannya kepercayaan kepada LPTK dalam proyek Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Evaluasi kurikulum dan model pendidikan harus segera direvitalisasi oleh LPTK jika tidak ingin terjerembab dalam kebingungan akademik.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar